Peran UMKM (Usaha Mikro kecil dan Menengah) sangat besar dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Jumlah UMKM mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha dan kontribusinya terhadap PDB juga mencapai 60,5%. Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan UMKM, M. Rudy Salahuddin mengatakan bahwa “Ini critical engine untuk perekonomian kita supaya maju. Jadi kita bertopang sangat besar kepada UMKM kita.” Saat pandemi, memang banyak UMKM yang terpuruk. Namun 84,8% UMKM yang tadinya terpuruk sudah kembali beroperasi normal saat ini.
Selain pandemi, ada beberapa faktor yang menyebabkan UMKM mengalami kegagalan. Menariknya, modal usaha bukan menjadi alasan mengapa UMKM gagal atau bangkrut. Yuk simak pembahasan berikut!
1. Digitalisasi
Istilah digitalisasi adalah proses perubahan yang terjadi pada teknologi bersifat analog ke digital. Digitalisasi sendiri tujuannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja dari sebuah industri, sehingga waktu dan seluruh sumber daya yang dimiliki dapat diolah seoptimal mungkin.
Dengan berkembang pesatnya penggunaan smartphone atau ponsel pintar di masyarakat Indonesia, berbagai informasi bisa diakses dengan mudah secara digital. Akan tetapi, para pelaku UMKM belum bisa memanfaatkan peluang tersebut dengan maksimal.
Dilansir dari Kominfo, 68% atau sekitar 43 juta UMKM masih belum memanfaatkan ruang digital dalam mengembangkan bisnisnya. Ditambah lagi, data dari dataindonesia.id menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan kecepatan internet paling lambat dibandingkan dengan negara ASEAN yang lain.
Memang seharusnya ada pendampingan intensif dan terstruktur dari pemerintah agar UMKM dapat meningkatkan produktifitas dalam menghadapi persaingan. Di sisi lain, UMKM juga perlu membuka diri terhadap teknologi digital, serta ada keinginan untuk belajar menciptakan inovasi.
Mengapa Digitalisasi UMKM Penting?
Sebagai orang Indonesia, tentu aktivitas berbelanja sehari-harinya sering berkaitan dengan berbagai produk dan layanan dari hasil kreasi pelaku UMKM. Mulai di pagi hari ketika mencari sarapan, membeli kebutuhan pokok di toko kelontong dekat rumah, sampai menggunakan jasa barbershop, hampir seluruhnya melibatkan UMKM.
Ditambah dengan banyaknya masyarakat yang mencoba untuk membuka usaha, akan menimbulkan persaingan yang semakin ketat. Lantas, bagaimana cara bersaing bisnis yang sehat? Jawabannya adalah dengan melakukan digitalisasi atau memanfaatkan teknologi digital baik dalam aspek pemasaran, inovasi produk, maupun operasional.
Contohnya menggunakan media sosial misalnya Instagram atau TikTok untuk memasarkan produk lewat konten. Jika dulunya masih menggunakan kasir konvensional dan pembukuan keuangan manual, maka sekarang saatnya Anda mencoba aplikasi kasir berbasis android. Aplikasi kasir mampu terintegrasi dengan software akuntansi, platform pesanan daring (Gojek, Grab), bahkan mengolah data pelanggan untuk nantinya digunakan sebagai strategi loyalitas pelanggan.
Hal yang perlu kita catat, Presiden Jokowi mengharapkan agar 30 juta UMKM sudah go digital atau melek teknologi digital di tahun 2024. Jadi jika Anda adalah salah satunya, sudah siapkah menghadapi digitalisasi UMKM tersebut?
Baca Juga: 8 Aplikasi yang Mendukung QRIS untuk Memudahkan Pembayaran
2. Mengamati Tren/ Perilaku Pelanggan
Sebuah bisnis wajib untuk siap beradapatasi terhadap perubahan, baik itu perubahan tren atau perubahan perilaku dari konsumen. Consumer behavior atau perilaku konsumen atau adalah studi tentang individu dan organisasi, serta bagaimana mereka memilih dan menggunakan suatu produk atau jasa.
Memahami tren dan perilaku pelanggan penting agar kita mendapatkan data untuk melakukan riset sebelum meluncurkan produk baru atau mengkampanyekan strategi pemasaran. Data tersebut bisa didapatkan melalui berbagai cara, yaitu:
- Survey pelanggan
- Review dari pelanggan
- Media sosial
- Google Analytics
- Google Trends
- Hasil penelitian
- Forum diskusi
UMKM yang tidak memahami tren akan tertinggal dari para pesaingnya. Contohnya es kepal milo yang hanya bersifat musiman, sempat booming dan banyak orang yang ikut berjualan. Selang beberapa waktu, masyarakat sudah jenuh dan kini jarang terlihat lagi penjual es kepal milo. Jika seorang pemilik usaha paham betul akan tren di pasar, dia akan segera melakukan riset untuk inovasi produk baru, atau bahkan beralih ke jenis usaha yang lain.
3. Pesaing Raksasa
Kementerian Koperasi dan UKM RI melaporkan bahwa UMKM di Indonesia memiliki pangsa sekitar 99,99% (62,9 juta unit) dari total keseluruhan pelaku usaha (2017). Sementara usaha besar hanya sebanyak 0,01% atau sekitar 5400 unit. UMKM menyerap sekitar 116 juta atau 97% dari jumlah tenaga kerja nasional, sedangkan usaha skala besar hanya menyerap sekitar 3% saja.
Tapi kenapa banyak UMKM yang gagal bersaing dengan bisnis besar atau raksasa, apakah hanya karena faktor ketersediaan modal? Ternyata tidak juga. Salah satu faktor yang penting adalah rencana bisnis baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Usaha kecil cenderung menjalankan operasionalnya sesuai kebiasaan sehari-hari, tanpa memikirkan peluang untuk bertumbuh atau resiko munculnya tren baru yang dapat menggangu keberlangsungan bisnis mereka. Lain halnya dengan usaha besar yang sudah menciptakan rencana bisnis yang terstruktur rapi, pengolahan data transaksi, dan penggunaan teknologi.
Baca Juga: Bisakah Ai Cha Bersaing dengan Mixue? Penerapan Strategi ATM
Kesimpulan
Dengan demikian, tantangan UMKM ke depan yang harus diatasi antara lain berkaitan dengan inovasi, digitalisasi, produktivitas, legalitas atau perizinan, pembiayaan modal, pemasaran, sumber daya manusia, standardisasi, pembinaan dan pelatihan, dan lain-lain. Bukan tidak mungkin UMKM bisa menyalip bisnis besar karena memiliki sistem yang lebih adaptif, tidak seperti perusahaan yang punya struktur organisasi dan birokrasi yang rumit.